Oleh: Doddy Wisnu Pribadi
Budaya baru terbentuk menggantikan budaya lama. Tetapi di atas permukaan air Sungai Brantas di Kabupaten Blitar dan Tulungagung, Jawa Timur, masyarakat ternyata masih memanfaatkan kebiasaan kuno: menyeberang sungai dengan perahu.
Sungguh menarik mengamati betapa penyeberangan Sungai Brantas mengunakan perahu yang disebut tambangan, diyakini sudah ada sejak zaman Majapahit. Tambangan sebagai sarana transportasi telah melintasi ujian adaptasi sosial dan adaptasi teknologi selama sekian abad.
Musim hujan yang berkepanjangan tahun lalu dan berlanjut hingga sekarang (juga disebut cuaca ekstrim), menjadikan debit air Sungai Brantas kini lebih besar. Warga menyatakannya, banyune kimplêh-kimplêh. Air melimpah.
Arus air deras, meski tak sampai bergelora. Seperti halnya Sungai Bengawan Solo di Jawa, Sungai Brantas hilir di Blitar sudah membentuk dasar sungai yang dangkal melebar seperti piring, bukan berpalung berjurang seperti mangkuk.
Ini terjadi akibat proses aluviasi, terikutnya bahan-bahan sedimen gunung mendangkalkan dasar sungai. Meski deras dan dalam oleh karena debit yang besar, arus air tetap tenang. Air tidak bergolak seperti sungai-sungai semacam Pekalen Sampean di wilayah timur Jawa Timur sehingga bisa dijadikan arena olah raga arung jeram.
Namun, justru berakar pada kondisi struktur fisik sungai semacam inilah, tradisi dan kebudayaan menyeberang sungai dengan perahu tambangan ini bisa terbentuk. Tambangan ini tak mungkin dioperasikan di sungai dengan air yang bergolak-golak.
*** SITUS resmi Pemerintah Kabupaten Tulungagung tidak mengutip sumbernya, menyebutkan, di era Majapahit (abad ke-14 sampai dengan ke-15), peradaban masa itu telah mengelola dan menata kegiatan penyeberangan ini. Para tukang tambang zaman itu, disebut Wwanganambangi, telah diorganisasi dengan rapi.
Tidak itu saja. Salah satu sentra kegiatan tambangan di zaman ini berada di Desa Majang, Kecamatan Tulungagung, kata Suprijanto, di situs Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga, Pemerintah Kabupaten Tulungagung.
Bisa jadi ini berhubungan dengan istilah jenis perahu payangan yang hingga kini merupakan sebutan bagi nama perahu besar penangkap ikan di desa-desa nelayan pantai selatan Jawa.
Ada belasan jasa perahu tambangan masa kini yang masih tersisa namun beroperasi penuh. Di antaranya, di Desa Pundensari, Kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung yang dioperasikan Nohan, laki-laki 30-an tahun, pemimpin kegiatan perahu tambangan ini yang dikelola sebuah kumpulan orang, sejenis kerjasama bisnis.
Tempat perahu ini beroperasi bisa ditemukan di ruas jalan raya Rejotangan, ruas jalan Blitar Tulungagung. Pada jarak tertentu di sepanjang jalan akan tampak papan pemberitahuan bergambar perahu, dan bertuliskan tambangan. Bisa ada tambahan tulisan, "24 Jam Roda 2 dan bisa ditambah Roda 4." (Bersambung)
0 komentar:
Post a Comment