TEMPO.CO, Jakarta - Peran Densus 88 Antiteror Polri sangat menonjol dalam pemberantasan aksi-aksi terorisme di Tanah Air. Padahal, TNI sebenarnya mempunyai kesatuan antiteror yang andal dan punya pengalaman lebih lama. Lalu, mengapa hanya Densus 88 yang diberi wewenang dalam pemberantasan terorisme?
Pengamat keamanan dari Universitas Padjajaran, Muradi, dalam bukunya Densus 88 AT; Konflik, Teror, dan Politik, mengakui berkembangnya anggapan bahwa peran Densus 88 AT Polri terlalu memonopoli pemberantasan terorisme di Tanah Air. "Ini membuat beberapa institusi lain yang memiliki organisasi antiteror merasa tidak mendapatkan porsi yang memadai dan tidak terberdayakan," kata Muradi.
Muradi menjelaskan, hampir semua angkatan di TNI memiliki struktur organisasi antiteror. TNI AD punya Detasemen Penanggulangan Teror (Dengultor), yang bernama Group 5 Antiteror dan Detasemen 81 yang tergabung dalam Kopassus; TNI AL punya Detasemen Jalamangkara (Denjaka), yang tergabung dalam Korps Marinir; serta TNI AU punya Detasemen Bravo (DenBravo), yang tergabung dalam Paskhas TNI AU.
Menurut Muradi, ada tiga alasan hanya Densus 88 yang lebih berperan dalam penanggulangan terorisme di Indonesia. Pertama, saat Densus 88 Antiteror terbentuk pada 2003, TNI masih mengalami embargo persenjataan dan pendidikan militer oleh negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat. Ini terkait dengan tuduhan pelanggaran HAM oleh TNI di masa lalu. "Sehingga salah satu strategi untuk mendirikan kesatuan antiteror tanpa terjegal masa lalu TNI adalah dengan mengembangkannya di kepolisian," kata Muradi.
Di sisi lain, pembentukan kesatuan khusus antiterorisme yang andal dan profesional pasti perlu dukungan peralatan yang canggih dan SDM yang berkualitas. Sebagaimana diketahui, pembentukan Densus 88 ini menghabiskan dana lebih dari Rp 15 miliar, termasuk penyediaan senjata, peralatan intai, alat angkut pasukan, operasional, dan pelatihan. Biaya tersebut berasal dari bantuan negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat dan Australia.
Alasan kedua adalah pemahaman bahwa kejahatan terorisme merupakan tindak pidana yang bersifat khas, lintas negara, dan melibatkan banyak faktor yang berkembang di masyarakat. Terkait dengan itu, terorisme dalam konteks Indonesia saat ini dimasukkan dalam domain kriminal, bukan aksi separatisme seperti di tahun 1950-an. Aksi teror sekarang ini dilihat sebagai gangguan keamanan dan ketertiban, serta mengancam keselamatan jiwa masyarakat. "Karenanya terorisme masuk ke dalam kewenangan kepolisian," kata Muradi.
Alasan terakhir adalah menghindari sikap resistensi masyarakat dan internasional jika pemberantasan terorisme dilakukan oleh TNI dan intelijen. Sebagaimana diketahui, sejak rezim Soeharto tumbang, TNI dan lembaga intelijen dituding sebagai institusi yang mem-back up kekuasaan Soeharto. Sehingga pilihan mengembangkan kesatuan antiteror yang profesional akhirnya berada di kepolisian, dengan menitikberatkan pada penegakan hukum, pemeliharaan keamanan, dan ketertiban masyarakat sehingga keamanan dalam negeri terpelihara.
"Harus diakui peran yang diemban oleh Densus 88 AT Polri memberikan satu persfektif bahwa pemberantasan terorisme di Indonesia dapat dikatakan berhasil," kata Muradi. "Setidaknya bila dikaitkan berbagai keberhasilan organisasi tersebut dalam menangkap dan memburu pelaku dari jaringan terorisme di Indonesia, serta mempersempit ruang geraknya."
0 komentar:
Post a Comment