Fenomena Polemik Film Tengelamnya Kapal Van Der Wijck


1.200.000 penonton dalam 15 hari !!! Wow !!! Seperti itulah pencapaian Soraya Films yang dikutip dalam akun instagram-nya !!! Luar biasa bukan !!!

Film yang dipersiapkan dalam waktu kurang lebih 5 tahun dengan dana yang besar 20 M, untuk ukuran Indonesia itu sangat besar ! Tak sia-sia !

Film yang bagus dengan lantunan "gombalan" syair sastra yang syahdu dalam romansa dua anak manusia Hayati dan Zainuddin di awal-awal film membuat sebagian besar anak ABG jaman ini bergidik malu seperti tak biasa mendengarnya !


"Tak ada gading yang tak retak" sama seperti film ini.
Beberapa detil kesalahan dalam film jika seksama diperhatikan akan ditemui (ada dalam thread saya sebelumnya).

Film yang sebelum premiernya, dengan penilaian trailer dan poster-nya sudah menimbulkan kontroversi. Baju "tak berlengan" Hayati (Pevita Pearce) yang dinilai oleh "melecehkan" tokoh Hayati itu sendiri dalam novel-nya.

However, totally film ini eloklah menurut saya dipandang sebagai tontonan film "cengeng" yang berkualitas.
Diakhir-akhir film, mungkin banyak yang berpikir INI ADALAH KISAH NYATA !!! YAA...ITULAH YANG TERPIKIR !!! BARANGKALI ZAINUDDIN ADALAH BUYA HAMKA !!! Mungkin itu pikiran yang terlintas karena terhipnotis oleh alur cerita film ini !!!

Jawabannya TIDAK !!! (Maaf mengecewakan bagi kaum yang berpikiran ini ADALAH KISAH NYATA)
Novel ini pertama kali ditulis oleh Hamka sebagai cerita bersambung dalam sebuah majalah yang dipimpinnya, Pedoman Masyarakat pada tahun 1938.

Di Kutaraja (sekarang Banda Aceh) setiap rabu malam, orang-orang berkerumun di stasiun kereta menunggu kiriman majalah Pedoman Masjarakat yang terbit di Medan. Mereka bukan hanya agen penjual majalah itu, tapi juga ratusan pembaca yang tidak sabar ingin membaca kelanjutan kisah “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” yang dimuat di majalah itu secara bersambung pada 1938 (Sebagaimana dituturkan kolega Hamka yang juga wartawan dan penulis terkenal, M. Yunan Nasution, lihat: http://buyahamka.org mengenang-sastrawan-besar-hamka)

Penulis cerita bersambung itu ialah Hamka, nama lengkapnya Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang juga pengasuh dan pendiri majalah mingguan Pedoman Masjarakat.

H. Abdul Malik Karim Amrullah

Hamka menuturkan bahwa ia mendapat banyak surat dari pembaca—atau tepatnya, penggemar—cerita Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Sebagian surat itu berisi pengungkapan kesan mereka setelah membaca kisah cinta tragis antara Zainuddin dan Hayati yang dikungkung adat dalam Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. “Seakan-akan Tuan menceritakan nasibku sendiri,” tulis seorang pemuda dalam suratnya (Hamka Menggebrak Tradisi”, Tempo, 19 Mei 2008).

Berdasarkan masukan dari berbagai pihak, cerita bersambung itu akhirnya diterbitkan dalam bentuk novel dengan judul yang sama pada 1939. Hamka menulis novel itu berdasarkan kisah nyata tentang kapal Van Der Wijck yang berlayar dari pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, menuju Tanjung Priok, Jakarta, dan tenggelam di Laut Jawa, timur laut Semarang, pada 21 Oktober 1936.

Walaupun peristiwa tenggelamnya kapal Van Der Wijck itu benar-benar terjadi, kisah yang ditulis Hamka dalam novel itu tentu saja FIKSI belaka. Sebagaimana umumnya karya sastra yang baik dibangun di atas serpihan kejadian nyata, Hamka pun mengolah tragedi yang memilukan itu dalam kisah FIKSI yang diberi badan peristiwa konkret dengan plot yang apik sehingga imajinasi pembacanya memiliki pijakan di dunia faktual. Karakter utamanya (Zainuddin, Hayati, dan Aziz) seolah pribadi-pribadi yang benar-benar hidup dan mewakili potret kaum muda pada masa itu ketika mereka berhadapan dengan arus perubahan sementara kakinya berpijak pada adat dan tradisi.

Reaksi negatif dari sejumlah pembaca Muslim telah muncul saat pertama novel ini diterbitkan. Mereka menolak membacanya dan mengatakan bahwa seorang ulama tidak sepatutnya mengarang cerita tentang percintaan. Dalam sebuah tulisan di Pedoman Masyarakat No. 4 1938, Hamka seolah membela diri menyatakan bahwa tidak sedikit roman yang berpengaruh positif terhadap pembacanya seperti roman tahun 1920-an dan 1930-an yang mengupas adat kolot, pergaulan bebas, kimpoi paksa, poligami, dan bahaya pembedaan kelas. (Hamka Menggebrak Tradisi”, Tempo, 19 Mei 2008)

Tidak berhenti di situ, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck menghadapi batu sandungan lebih keras pada 1962, yakni 24 tahun sejak pertama diterbitkan. Seorang penulis bernama Abdullah SP membuat esai berjudul “Aku Mendakwa Hamka Plagiat” yang dimuat di Harian Bintang Timur 7 September 1962. Dalam esai itu ia menilai bahwa Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ialah hasil jiplakan dari novel Magdalena karya sastrawan Mesir Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi yang juga hasil saduran dari novel Sous les Tilleuls karya pengarang Prancis, Alphonse Karr.


Untuk membuktikan tuduhannya Abdullah SP membuat perbandingan dengan metode “idea-script” dan “idea-sketch” yang menjajarkan dua novel itu secara detail dalam bentuk tabel perbandingan. Metode perbandingan semacam ini baru pertama dilakukan sepanjang sejarah sastra Indonesia.

Nomor A B
1. Magdalaine menyurati Suzanne tentang kedatangan pemuda
Stevens (hlm. 3-4)
Hayati menyurati Khadijah tentang kedatangan pemuda
Zainuddin (hlm. 35)
2. Stevens tinggal di kamar atas rumah orangtua Magdalaine yang
sedianya kosong (hlm. 3-4)
Zainuddin tinggal di rumah bakonya yang tidak jauh dari rumah
orangtua Hayati (hlm. 35)
3. Perikatan janji prasetia antara Magdailaine dan Stevens “di
bawah naungan bunga tilia” disusul dengan adegan asmara di
danau (hlm. 37-40)
Pertemuan di waktu hujan “di bawah sebuah payung” disusul
dengan perikatan janji prasetia di sebuah danau (hlm. 47-51)
4. Hubungan asmara antara Magdalaine dan Stevens tidak disetujui
orangtua Magdalaine karena pemuda Stevens miskin dan diusir
(hlm. 52-56)
Hubungan asmara antara Hayati dan Zainuddin tidak disetujui
orangtua Hayati karena Zainuddin melarat dan diusir
(hlm. 52-56)
....
6. Suzanne mengecoh Magdalaine sehingga membenci Stevens
(hlm. 115-117)
Khadijah mengecoh Hayati sehingga membenci Zainuddin
(hlm. 83-86)
....
11. Perkimpoian Magdailaine dengan Edward (hlm. 180-190) Perkimpoian Hayati dengan Aziz (hlm. 123-131)
....
14. Edward bunuh diri di sebuah hotel di Chicago (hlm. 241-243) Aziz bunuh diri di sebuah hotel di Banyuwangi (hlm. 175-176)
15. Magdalaine mati bunuh diri tenggelam di sebuah sungai
(hlm. 245-254)
Hayati mati karena kecelakaan tenggelam di laut bersama kapal
Van der Wijck (hlm. 177-180)
16. Stevens mati mendadak di atas kursi di depan pianonya
(hlm. 280-284)
Zainuddin mati mendadak di atas kursi di depan meja tulisnya
(hlm. 198-200)
+ Stevens dikubur di samping Magdalaine berdasarkan wasiat
Stevens.
Zainuddin dikubur di samping Hayati berdasarkan wasiat
Zainuddin.
....

Dan dari hasil perbandingan itu Abdullah SP menemukan banyak kemiripan, sehingga ia menuduh Hamka sebagai plagiator. Karuan saja tuduhan itu memicu polemik, lebih-lebih serangan terhadap Hamka tidak berhenti pada esai tersebut melainkan berlanjut dengan dibuatnya kolom khusus di Harian Bintang Timur yang berjudul “Varia Hamka” dalam lembaran kebudayaan Lentera yang diasuh oleh Pramoedya Ananta Toer. 

Kasus ini terus bergulir menjadi polemik lantaran muncul pada era pertentangan ideologi yang cukup keras antara kubu seniman kiri Lekra versus kubu Manifes Kebudayaan. Para sastrawan Manifes Kebudayaan membela Hamka dari tuduhan para seniman Lekra. Kedudukan Hamka sebagai anggota Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), partai yang dilarang oleh Presiden Soekarno pada Agustus 1960, memperkeras polemik dan membawanya ke ranah politik—bukan semata polemik sastra. Lekra banyak menentang agama. Oleh sebab itu, Hamka yang merupakan ulama dianggap sebagai salah satu target penting (Maman S Mahayana, Oyon Sofyan, dan Ahmad Dian, Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern (Jakarta: Grasindo, 1995), hal. 78–79). Kubu Abdullah SP (yang konon adalah nama samaran dari Pramoedya Ananta Toer sendiri) berhadapan dengan kubu HB Jassin bersama para sastrawan yang ikut membela Hamka yakni Anas Makruf, Ali Audah, Wiratmo Soekito, Asrul Sani, Rusjdi, Umar Junus, Soewardi Idris, dan lain-lain.

Serangan terhadap Hamka berlangsung berbulan-bulan “dengan bahasa yang sangat kasar dan tak layak sama sekali dimuat dalam ruang kebudayaan Lentera dan telah menjadi fitnah terhadap pribadi dan keluarga sastrawan tersebut (DS Moeljanto dan Taufiq Ismail, Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI Dkk (Jakarta: Mizan, 1995), hal. 40, catatan kaki no. 1). 

Dalam sebuah pembelaannya terhadap Hamka, HB Jassin menulis bahwa Tenggelamnya Kapal Van der Wijck bukanlah karya plagiat. Menurutnya, yang disebut plagiat adalah pengambilan karangan orang lain sebagian atau seluruhnya dan membubuhkan nama sendiri seolah-olah kepunyaannya. Di samping plagiat, ada saduran, yaitu karangan yang jalan ceritanya dan bahan-bahannya diambil dari suatu karangan lain, misalnya cerita luar negeri disesuaikan dengan alam sendiri (Indonesia) dengan mengubah nama-nama dan suasananya. Saduran itu pun harus disebutkan nama pengarang aslinya. Selain “plagiat” dan “saduran”, ada juga “pengaruh”, yakni hasil ciptaan pengarang sendiri mendapat pengaruh pikiran atau filsafat pengarang lain, baik disengaja maupun tidak.

Vicente Cantarino (dalam Pradopo, 2002) mengatakan bahwa dalam sastra ada tradisi mentransformasikan karya-karya sebelumnya ke dalam karya sendiri dengan bentuk yang baru. Hal ini bukan merupakan jiplakan, sebab ide dan konsepnya milik sendiri, sementara karya sebelumnya sebagai “bahan”. Dalam hal ini, menurut Rachmat Djoko Pradopo (2002) dalam buku Kritik Sastra Indonesia Modern, Hamka membuat transformasi dari karya Manfaluthi yang merupakan hipogramnya, dengan memasukkan pikiran-pikiran keislaman di dalamnya, mengubah jalan ceritanya, dengan penambahan-penambahan, semuanya disesuaikan dengan situasi Indonesia, Minangkabau khususnya, untuk menampilkan masalah adat, khususnya adat kimpoi paksa, dengan memasukkan pikiran-pikiran baru sesuai dengan ajaran Islam.

Bagaimana sikap Hamka sendiri atas kasus yang menimpanya. Dalam majalah Gema Islam (1962) ia menulis: “Tjatji maki dan sumpah-serapah terhadap diri saja dengan mengemukakan tuduhan bahwa buku Tenggelamnja Kapal Van der Wijck jang saja karang 24 tahun jang lalu, adalah sebuah plagiat, atau djiplakan, atau hasil tjurian atau sebuah skandal besar, tidaklah akan dapat mentjapai maksud mereka untuk mendjatuhkan dan menghantjurkan saja. Dengan memaki-maki dan menjerang demikian persoalan belumlah selesai.” Ia menyerahkan persoalan itu kepada ahlinya. Kepada wartawan Berita Minggu (30 September 1962), Hamka mengakui bahwa memang ia terpengaruh dengan Manfaluthi. Dalam Gema Islam (1 Oktober 1962), Hamka mengatakan bahwa caci-maki dan tuduhan plagiat itu tidak akan menjatuhkan dia dan persoalan belum selesai. Ia mengharapkan agar Tenggelamnya Kapal Van der Wijck diteliti secara ilmiah oleh ahli sastra untuk menentukan apakah itu hasil curian, saduran, atau asli secara pasti. Hamka berharap dibentuk Panitia Kesusastraan yang bersifat ilmiah di bawah Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan ia bersedia memberikan keterangan (Pradopo, 2002).

H.B. Jassin dan Junus Amir Hamzah (1963) telah membukukan polemik itu dalam buku Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dalam Polemik. Setelah membaca tulisan-tulisan yang menuduh Hamka sebagai plagiat maupun yang menolaknya, Umar Junus (dalam Hamzah, 1963) menyimpulkan bahwa pertama, Hamka menggunakan pola dan plot yang ada dalam karya Manfaluthi, tetapi ia mengisi tema dan idenya sendiri. Kedua, Hamka sangat terpengaruh Manfaluthi sehingga menyenangi dan menggunakan hal-hal yang sama dengan Manfaluthi, termasuk cara pengucapannya. Hal ini mungkin karena keaslian pengucapan belum menjadi mode pada masanya.

Dalam disertasinya, Rachmat Djoko Pradopo menilai bahwa persoalan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck bukanlah persoalan plagiat atau jiplakan, melainkan masalah intertekstual, yakni transformasi dari satu teks ke teks yang baru.

Hamka sendiri bisa mengambil “hikmah” dari polemik itu. Bagaimanapun sebuah buku yang selalu menjadi bahan pembicaraan atau pergunjingan, pujian atau makian, akan selalu diburu orang. Pemberian cap “dahsyat” sebagaimana ucapan Sapardi Djoko Damono terhadap Saman maupun cap “plagiat” sebagaimana tulisan Abdullah S.P. terhadap novel Hamka, sama-sama membawa berkah bagi penerbit buku itu. Terkadang berkah bagi pengarang juga. Novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck merupakan salah satu karya sastra Indonesia yang terbilang laku di pasaran. Hamka sendiri mengakui dalam cetakan keempat buku itu, bahwa belum berapa lama diterbitkan, buku itu sudah ludes. “Belum berapa lama tersiar, dia pun habis,” tulis Hamka. Saya sendiri membeli buku itu pada 1999—yang sudah merupakan cetakan ke-23. Kelarisan buku ini dapat disejajarkan dengan Layar Terkembang Sutan Takdir Alisjahbana dan Saman Ayu Utami.

“Karena demikian nasib tiap-tiap orang yang bercita-cita tinggi, kesenangannya buat orang lain. Buat dirinya sendiri tidak. Sesudah dia menutup mata, barulah orang akan insaf siapa sebetulnya dia…” (Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, hlm. 212-213)

Diolah dari Sumber :

Ditulis Oleh : Unknown ~ AGP88Blogs

Agung P Anda sedang membaca artikel berjudul Fenomena Polemik Film Tengelamnya Kapal Van Der Wijck yang ditulis oleh AGP88 yang berisi tentang : Dan Maaf, Anda tidak diperbolehkan mengcopy paste artikel ini.

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di AGP88

0 komentar:

SMS GERATIS

Back to top